Fooled Again

Why do I fall for your tricks over and over again? If these decades with you have taught me anything it should be what a fool I’ve been — Yet, this would strip me of youthful innocence — to trust…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Fokus Pada Proses Bukan Tujuan

Hal ini juga terjadi pada proses pengembangan produk, di mana produk dibuat untuk dapat memenuhi kebutuhan penggunanya sehingga dapat memberikan suatu kepuasan. Lalu apa kaitannya antara kebahagiaan dengan proses pengembangan suatu produk?

Pengalaman pribadi saya pada awal tahun sebagai sebuah resolusi tahunan adalah rutin berolahraga dengan tujuan untuk menjadi lebih sehat dan mengurangi berat badan. Kondisi yang saya alami setelah beberapa minggu melakukan resolusi tersebut adalah saya merasa malas, berat rasanya untuk melanjutkan dan ingin menyerah. Hal ini terjadi karena saya hanya fokus kepada tujuan akhirnya tanpa memahami makna yang terkandung selama proses tersebut. Dengan berolahraga secara teratur maka kondisi kesehatan saya akan membaik. Yang saya lakukan hanyalah berolahraga setiap hari karena hal tersebut merupakan sebuah keharusan untuk mencapai tujuan saya. Saya menjalaninya seperti zombie, melakukannya tanpa menyenangi prosesnya. Hingga saya merenung apakah untuk mencapai tujuan itu saya harus mengorbankan kebahagiaan saya selama proses berlangsung?

Hal serupa saya perhatikan banyak terjadi juga pada Scrum Team dalam mengembangkan produk. Selama saya menjadi Scrum Master, pernah saya menemukan suatu kondisi dimana Scrum Team terbentur dengan target yang sudah ditentukan oleh perusahaan sehingga team hanya sekedar melakukan tugasnya saja, atau ada juga yang merasa tidak senang dengan lingkungan kerjanya tetapi terpaksa karena butuh uang. Kondisi yang sama dilakukan kembali dari Sprint ke Sprint berikutnya sehingga memunculkan banyak Technical Debt dan akhirnya menjadi bug. Akibat melakukan dengan setengah hati demi mengejar tujuan, tim pun mengorbankan kebahagiaannya.

Apakah benar untuk meraih suatu tujuan kita hanya boleh fokus ke tujuan akhir saja? Lalu bagaimana caranya agar Scrum Team dapat menyelesaikan Sprint Goal tanpa kelelahan secara emosional, mental maupun fisik?

Tidak salah memiliki suatu tujuan, justru sebuah tim harus memiliki tujuan yang ingin diraih. Bagaimanapun juga setiap orang pasti memiliki tujuan dalam hidupnya. Mengutip dari salah satu artikel Roman Pichler, Sprint Goal menjelaskan maksud dari sebuah Sprint dan dengan berbagi satu tujuan, maka dapat memastikan bahwa semua orang akan bergerak ke arah yang sama. Setiap Scrum Team yang berhasil ataupun tidak berhasil menyelesaikan Sprint Goal di akhir Sprint pasti sama-sama memiliki sebuah tujuan untuk meraih Sprint Goal. Hal ini serupa dengan tim yang terlibat dalam suatu pertandingan olahraga pasti mempunyai tujuan untuk memenangkan pertandingan tersebut. Namun apakah setelah berhasil menang, tim akan meraih hasil yang sama? Banyak Development Team juga sering mengalami kesulitan untuk mencapai Sprint Goal, apalagi untuk mencapainya kembali di Sprint berikutnya.

James Clear, dalam bukunya Atomic Habit mengungkapkan bahwa kebahagiaan selama mencapai tujuan dapat terjadi bila kita mencintai prosesnya bukan produknya. Kerangka berpikir inilah yang seharusnya ditanamkan kepada setiap anggota tim. Keberhasilan mencapai Sprint Goal sebenarnya adalah imbas dari sikap positif yang dibawa oleh seluruh Scrum Team ketika mereka menyenangi pekerjaannya: senang bekerja sebagai satu tim tanpa ada paksaan dalam melakukannya. Mentalitas untuk selalu mengutamakan proses yang berjalan dapat membawa keberhasilan dalam berbagai bentuk, bukan hanya mencapai tujuan awal yang pertama kali dibayangkan. Hal ini sejalan ketika Development Team melakukan Daily Scrum, dimana pada saat itu tim memiliki kesempatan belajar untuk memaksimalkan nilai yang ada dengan mencari strategi yang tepat sehingga terbentuk Daily Goal. Daily Goal ini yang terkadang menciptakan suatu terobosan baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh Scrum Team sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk selalu melakukan Daily Scrum secara rutin, bukan hanya dilakukan ketika ada masalah saja.

Courage, Commitment, Focus, Openness dan Respect merupakan Scrum Values yang melandasi terciptanya perbaikan yang menuntun kepada kepuasan dalam bekerja sebagai sebuah tim. Sprint Retrospective merupakan tempat terbaik bagi Scrum Team untuk kembali merenungkan tindakan yang telah mereka ambil selama 1 sprint kebelakang dan disinilah momen untuk membuat perubahan itu. Menikmati setiap proses perbaikan karena perbaikan yang dilakukan sesuai dengan keinginan tim itu sendiri, bukan dipaksakan oleh pihak luar.

Tanpa berani untuk melakukan perbaikan, kebahagiaan dalam bekerja akan sulit tercapai. Bila seluruh anggota dalam tim tidak menyenangi prosesnya, akan lebih sulit lagi untuk meraih hasil yang sama, apalagi untuk meningkatkannya.

Dasar dari menentukan tujuan adalah untuk menjadi juara dalam sebuah pertandingan, tetapi dasar dari membangun cara bertanding adalah untuk dapat terus bertanding meraih juara di pertandingan berikutnya. Cara pandang kerja berkelanjutan tidak hanya sekedar untuk mencapai Sprint Goal kali ini saja, tetapi Scrum Team berfokus untuk dapat meraih setiap Sprint Goal di kesempatan berikutnya.

Lalu bagaimana dampak dari suatu kondisi kerja yang menyenangkan di dalam sebuah Scrum Team? Dalam sebuah penelitian singkat yang saya lakukan terhadap rata-rata tingkat kepuasan beberapa Scrum Team selama 5–6 sprint berturut-turut, terlihat bahwa tim yang memiliki tren tingkat kepuasan di bawah ambang batas (skala 3 dari 5) memiliki rata-rata velocity yang cenderung menurun serta tidak pernah mampu meraih Sprint Goal. Salah satu faktor lain yang mendukung terjadinya kondisi ini adalah karena tim mengalami banyak kendala dalam berkomunikasi, baik itu secara internal karena adanya perbedaan bahasa yang dipakai, ataupun komunikasi dengan tim lain yang menyebabkan informasi tidak tersampaikan secara utuh.

Sebaliknya untuk tim yang memiliki rata-rata tingkat kepuasan di atas ambang batas, memiliki rata-rata velocity yang cenderung meningkat serta pernah satu kali atau bahkan beberapa kali menyelesaikan Sprint Goal selama kurun waktu penelitian.

Pada beberapa kasus, tingkat keberhasilan Scrum Team dalam menyelesaikan seluruh komitmennya tidak harus dicapai pada skala sangat puas (skala 5), namun sering tercapai ketika tingkat kepuasan berada diatas ambang batas atau ketika meningkat. Sebaliknya, tingkat kepuasan tim yang menurun akan berdampak pula terhadap penurunan rata-rata velocity di Sprint berikutnya.

Untuk Scrum Team yang telah bekerja bersama dalam kurun waktu tertentu cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih stabil serta kemampuan untuk mencapai Sprint Goal yang lebih sering.

Dari penelitian tersebut dapat terlihat sedikit gambaran apabila Scrum Team mampu bekerja bersama dengan suasana yang nyaman dan menyenangkan, akan mampu memotivasi tim itu sendiri untuk meraih hasil yang lebih optimal. Scrum sebagai sebuah framework menyediakan kesempatan untuk melakukan perbaikan tanpa akhir secara terus menerus terhadap produk, orang yang terlibat, maupun kondisi kerjanya. Dengan mengimplementasikan proses kontrol empiris, Scrum Team dapat mencoba mencari formula kerja yang menyenangkan bagi mereka sendiri.

Pada akhirnya, komitmen terhadap proses yang akan menentukan kebahagiaan suatu tim. Sebagai bagian dari organisasi yang terus berkembang, sudahkan kita memperhatikan tingkat kepuasan kita dalam bekerja serta ikut serta memperbaiki proses yang ada?

Add a comment

Related posts:

Be a Leader By Facilitating

To build a leading and fast-growing team. It’s the primary duty of the leader to build engagement in the team. To make that into the team, a leader sometimes needs to be a facilitator in many…

Gp Essays On Education

What is Education? In a broader sense, Education refers to acquiring various skills in many different areas, crucial to our survival and well-being. These skills are developed through classroom…

Vengeance

I get why so many people are fixated on vengeance. It’s wired deep into us. It’s the primal urge to bind into a tribe and divide the world into “us” and “them” and whenever one of “them” hurts us…